Amok : Gangguan Emosi Budaya

Amok : Gangguan Emosi Budaya

Kasus Amok

        Amok masuk ke dalam culture bound syndrome yang merupakan gangguan emosi terkait dengan budaya Melayu. Kasus Amok ditemui di Malaysia pada tahun 1846 di provinsi Penang, dimana seorang pria tua yang terhormat secara tiba-tiba menembak dan membunuh 3 penduduk desa serta melukai 10 orang lainya. Kemudian kasus yang sama terjadi pada tahun 1901, di provinsi Phang, Malaysia dimana seorang pria muslim berusia 23 tahun mencuri pedang dan menyerang 5 orang serta membunuh 3 orang yang hampir saja memenggal kepala mereka (Martin, 1999). Kasus Amok di indonesia dibahas dalam buku yang ditulis oleh Portugis Duarte Barbosa pada abad ke-16 yang adalah seorang pedagang, ia melakukan perjalanan dan ekspedisi di Magellan dan menceritakan perilaku penduduk Indonesia di pulau Jawa : “Individu pergi ke jalan-jalan dan membunuh semua orang yang ditemuinya,dia juga menghancurkan apa saja yang ditemukan di jalan, selain itu juga membunuh orang atau hewan yang menabraknya” (Nonis., 2021). Agresivitas dan kekerasan yang ditunjukan memiliki pola yang unik dan khas ketika individu mengalami kemarahan, akibatnya ia melakukan perbuatan yang tidak terkendali.

Definisi dan Kriteria Diagnostik

       Amok dalam budaya indonesia diambil dari kata amuk yang sering diartikan sebagai tindakan brutal atau liar yang dilakukan seseorang tanpa adanya kendali diri (Fauzan A,.2017). Menurut Osborne (2001) (dalam Shiraev, B.E. & Levy A.D. (2010). ) Amok adalah kemarahan yang muncul secara tiba-tiba dimana orang normal menjadi mengamuk dan menyakiti orang, hal ini diikuti dengan kekerasan yang dipicu oleh penghinaan. Martin (1999), juga menjelaskan Amok sebagai pembunuhan yang kemudian dilanjutkan dengan perilaku bunuh diri karena ketidakstabilan emosional individu tersebut. Dalam mitologi Melayu, Amok dikaitkan dengan roh jahat yang biasa disebut dengan “hantu belian” atau arwah harimau jahat yang memasuki tubuh seseorang dan memaksanya melakukan tindakan agresif tanpa sadar (Martin, 1999). Amok dijelaskan dalam episode disosiatif yang dicirikan dengan periode merenung diikuti dengan perilaku agresif, ledakan perilaku kekerasan atau juga pembunuhan yang diarahkan kepada orang atau objek. Amok muncul karena adanya hinaan-hinaan dan masalah traumatis masa lalu yang banyak terjadi di kalangan laki-laki (Nevid, Rathus & Greene, 2014). Amok juga sering disertai dengan pikiran paranoid,amnesia, kelelahan, dan kemudian kembali ke keadaan premorbid setelah episode. DSM IV (1994) (American Psychiatric Association) mengidentifikasikan Amok sebagai bagian dalam Dissociative Fugue (300.13). Dissociative Fugue adalah keadaan dimana seseorang kehilangan ingatan akan keseluruhan hidupnya dan identitas pribadi mereka. Orang dengan gangguan ini bisa tiba-tiba lupa dengan nama mereka sendiri, keluarga mereka, tempat mereka hidup maupun tempat kerja (Gea A., 2013 ).Fugue dapat terjadi ketika seseorang mengalami stres berat, pertengkaran dalam rumah tangga, penolakan diri, masalah sosio-ekonomi, bertugas dalam peperangan dan bencana alam yang dialaminya (Yuniarti dkk., 2021). Karakteristik dalam DSM IV (1994) Sebagai berikut :

  1. Gangguan muncul secara tiba-tiba dan tak terduga baik dirumah maupun di tempat kerja, adanya kegagalan untuk menghilangkan masa lalu
  2. Kebingungan menilai identitas pribadi atau asumsi mengenai identitas baru (sebagian atau lengkap)
  3. Gangguan tidak terjadi secara eksklusif selama berlangsungnya gangguan identitas disosiatif, dan bukan dipengaruhi efek fisiologis dari suatu zat (misalnya penyalahgunaan obat) atau kondisi medis (misalnya,epilepsi)
  4. Gejala-gelaja ini menyebabkan gangguan dan kerusakan yang signifikan secara klinis di bidang fungsi sosial,pekerjaan atau lainya.
           Sedangkan Nonis (2021), menjelaskan bahwa Amok pada Manual DSM IV (1995) diidentifikasi sebagai Intermittent Explosive Disorder, tetapi dengan prevalensi yang jarang mendefinisikannya dengan episode disosiatif yang ditandai dengan periode depresi yang diikuti dengan perilaku kekerasan,agresif dan pembunuhan yang diarahkan kepada orang maupun hewan. Kriteria untuk diagnosis F63.8 Intermittent Explosive Disorder adalah sebagai berikut :
  1. Beberapa episode kesulitan dalam mengendalikan impuls agresif, yang mengarah pada kekerasan atau perusakan properti.
  2. Tingkat agresivitas selama episode tidak proporsional dengan intensitas psikososial yang memicu
  3. Episode agresif tidak dijelaskan dengan adanya gangguan mental lainya (seperti antisocial personality disorder, borderline personality disorder, psychotic disorder, manic episode, conduct disorder, or attention deficit hyperactivity disorder, ) dan bukan dipengaruhi efek fisiologis dari suatu zat (obat-obatan) atau kondisi medis umum (cedera kepala, penyakit Alzheimer),
Pengobatan Amok

         Orang melayu percaya bahwa arwah orang mati akan bersemayam dalam tubuh orang yang kehilangan jiwa. Maka dari itu orang melayu mengandalkan dukun dalam pengobatan Amok. Terapi budaya pada gangguan Amok dilakukan oleh tabib/dukun yang biasanya disebut Bomoh. Bomoh akan mendatangi rumah pasien dan melakukan ritual-ritual penyembuhan (Haque, 2008) sebagai berikut :

  1. Mandi berlimau atau proses mandi air ramuan yang dilakukan sebelum atau sesudah upacara dengan tujuan untuk membersihkan diri dari gangguan iblis serta menghilangkan ketidak beruntungan. Bahan-bahan penting dalam ramuan tersebut terdiri dari tiga lemon yang diiris dalam beberapa bagian, serat kapur, beluruh (akar ramuan khusus) tujuh potong kunyit, tujuh potong lada hitam, tujuh butir beras, koin perak dan cincin emas. Kemudian pasien akan digosok hingga kering dan diberikan 3 pakaian dengan warna berbeda. Selanjutnya bamoh akan memberikan bubuk putih atau yang biasanya disebut dengan tawar agar melindungi dari roh jahat. Pasien diberi nasi kuning dan telur rebus untuk dikonsumsi, dan bamoh akan melanjutkan dengan mantra dan doa. Terakhir pasien berganti pakaian sebagai tanda telah selesainya upacara yang dilakukan
  2. Bagis merupakan cara penyembuhan dengan menggunakan jimat magis dan melibatkan kegiatan menggoyangkan kepala pasien dan anggota badanya.
  3. Jamu hantu atau “pesta iblis” merupakan upacara terkenal dalam budaya Melayu yang mana makanan akan secara khusus disediakan dan dikirim ke hutan pada malam penyembuhan. Upacara ini dilakukan agar menenangkan iblis atau arwah jahat yang mendiami tubuh pasien.
  4. Jampi (mantra) yang digunakan oleh para bomoh dan sering disebut dengan al muswwizat yang mengacu pada seruan perlindungan. jampi berbeda dengan doa karena jampi meminta dari makhluk gaib selain Tuhan, contohnya sebagai berikut :
Satu, Tiga, Lima, Tujuh Jauh; pergi ke lautan pergi
Jangan bawa ke sini semua kejahatanmu, dan kutukan jahat lainnya Oh Jin Agung,
Penjaga semua Penjaga, Jiwa dari semua jiwa Turun, datang langsung, bantu kami!

Intervensi secara konvensional yaitu terapi Amok berdasarkan gangguan disosiatif dijelaskan menurut Davidson dkk (2014) dalam buku Psikopatologis Lintas Budaya oleh Yuniarti dkk (2021) :
  1. Psikoanalisis : Gangguan disosiatif dikenal sebagai representasi dari kejadian atau aspek diri yang tidak dikehendaki, maka dari itu digunakan hipnosis agar bisa mengungkapkan kepribadian yang tersembunyi, atau akses ke identitas dan kejadian yang menimbulkan trauma.
  2. Behavioral : gangguan disosiatif dikenal sebagai pelarian yang dipicu oleh tingkat kecemasan yang tinggi. Intervensi ini berfokus pada target perilaku saat pasien mengalami amok dan meningkatkan pemahaman terhadap kecemasaan terkait dengan memori yang dilupakan yang mendasari gangguan. Selanjutnya melatih pasien agar menghadapi tantangan-tantangan saat ini dengan lebih baik.
    Sumber :
    Melayu Intan V.P. Baun (802019248)

    Leave a Comment

    Your email address will not be published. Required fields are marked *